Gua Harimau, "Rumah Peradaban"
Lampau di Sumatra Selatan
Situs arkeologi Gua Harimau di Padangbindu, Baturaja, Sumatra Selatan, ditemukan pada 2008 dan mulai diteliti pada 2009. Penelitian yang berlanjut sampai sekarang telah menghasilkan penemuan-penemuan spektakuler yang memberikan pandangan-pandangan baru kearkeologian. Dalam "Rumah Peradaban Gua Harimau" yang digelar pada 16 Mei 2016, Pusat Arkeologi Nasional mengundang peserta yang terdiri atas siswa SMA/SMK se-Kabupaten OKU, guru, pemerintah daerah, dan masyarakat sekitar Padang Bindu. (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
Profesor Truman Simanjuntak bersama timnya dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melacak jejak hunian prasejarah di Gua Harimau sejak 2009. Gua di Bukit Karang Sialang, Desa Padang Bindu, Sumatra Selatan itu membekukan sisa kehidupan penghuninya: gambar cadas prasejarah dan kubur kuno terbanyak dalam gua hunian di Indonesia—juga Asia Tenggara.
Lokasi Gua Harimau berada sekitar 35 kilometer di barat Baturaja, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Setahun setelah penemuan Gua pada 2008, para arkeolog mulai meneliti Gua Harimau dan berlangsung hingga kini. Penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun itu menghasilkan penemuan-penemuan arkeologi yang spektakuler.
Siput-siput seperti ini banyak ditemukan berserakan di Gua Harimau. Para ahli arkeologi memperkirakan bahwa lubang-lubang yang terdapat pada ujung-ujung siput memang sengaja dibuat oleh para Penutur Austronesia untuk menyeruput dagingnya. Ini merupakan hasil penemuan di Gua Harimau yang dipaparkan dalam NGI edisi Januari 2013.. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia).
Di gua tersebut, arkeolog menemukan sisa hunian, perbengkelan, dan
kuburan dari ras Mongoloid, penghuni gua dengan budaya Neolitik sekitar
4.000 tahun lalu yang berlanjut ke budaya Paleometalik sekitar 2.000
tahun lalu. Hingga saat ini telah ditemukan kubur dari 81 individu
dengan orientasi, posisi, sistem, dan jenis kubur yang sangat
bervariasi. Kepadatan kubur yang tiada duanya di Indonesia ini sangat
penting bagi pemahaman tentang kehidupan leluhur bangsa di masa lampau.
Khususnya tentang kondisi sosial dan ekonomi, konsepsi kepercayaan,
demografi, patologi, nutrisi yang sarat dengan nilai-nilai budaya atau
peradaban.
Arkeolog bahkan menemukan sisa hunian Preneolitik yang jauh lebih tua milik ras Australomelanesid di bawah hunian Neolitik.
Tradisi
gambar cadas merupakan peradaban manusia prasejarah dalam menyampaikan
pesan melalui gambar. Di dunia, sangat jarang peneliti gambar cadas yang
mempunyai pengalaman menemukan situs-situs baru. Namun, Indonesia
memiliki cerita lain. Sebagian situs-situs gambar cadas justru
bermunculan sekitar dua dekade belakangan.
Di langit-langit gua bagian timur dan barat, ditemukan lukisan cadas (rock art).
Sejauh ini, lukisan cadas itu merupakan satu-satunya di Sumatera.
Penemuan tersebut menambah peran penting Gua Harimau dalam menjelaskan
perkembangan seni cadas regional yang mengandung nilai estetika dan
simbolisme. Keberadaan lukisan ini sekaligus merefleksikan kemajuan alam
pikir komunitas penghuni gua di kala itu.
Temuan gambar cadas
prasejarah pertama di Sumatra ini mematahkan asumsi arkeolog yang
menyatakan budaya gambar cadas tak menyentuh Sumatra, namun tersebar di
Indonesia Timur dan wilayah lainnya.
Rajah dan Pusara Leluhur Sebuah reka-ulang adegan
dalam ruang kesakralan di Gua Harimau, Bukit Karangsialang, berkisah
tentang kehidupan konsepsi kepercayaan para Penutur Austronesia awal
yang mendiami Sumatra. Seorang syaman sedang melakukan tarian keramat
dalam keadaan ambang sadar. Tangannya yang berlumuran luluhan batuan
hematit menggoreskan gambar cadas prasejarah di dinding gua sebagai
simbol terbukanya portal ke dunia lain. Suasana sakral tersebut terkait
dengan upacara pemakaman di serambi gua nan megah itu. Infografis ini
bagian dari kisah "Tapak Jejak Pitarah Sumatra" pada edisi Januari 2013 (Lambok Hutabarat/National Geographic Indonesia).
Arkeolog bahkan menemukan sisa hunian Preneolitik yang jauh lebih tua
milik ras Australomelanesid di bawah hunian Neolitik. Penemuan ini
memperkaya pengetahuan kita tentang kehidupan awal Holosen dengan
pengayaan budaya manusia sebelumnya di Sumatera dan Nusantara pada
umumnya. Kehidupan berburu dan meramu telah lebih maju dari kehidupan
sebelumnya dengan memanfaatkan sumber daya lingkungan yang tersedia,
seperti hewan jenis rusa, babi, dan kera, selain itu reptil, burung,
ikan, dan kerang-kerangan, termasuk umbi-umbian dan biji-bijian.
Sisa
hunian yang lebih tua berasal dari 22.000 tahun lalu ditemukan pada
kedalaman 2,7 meter. Ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog telah
mencapai lapisan hunian sedalam 5 meter diyakini dapat merefleksikan
hunian gua yang jauh lebih tua dari sebelumnya, meski belum dilakukan
penanggalan. Penemuan ini menjadi sangat penting karena mengisi
kekosongan data hunian Sumatera hingga saat ini.
Sisa-sisa peninggalan yang masih terdapat pada lapisan yang lebih
dalam menjadikan Gua Harimau sebagai situs yang menjanjikan
temuan-temuan spektakuler lainnya di masa datang. (Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional).
Keseluruhan penemuan tersebut memberikan pandangan baru dan wawasan
luas di bidang arkeologi, khususnya tentang kelampauan Nusantara.
Sementara peradaban yang diusung dari masa itu menjadi nilai-nilai yang
sangat penting bagi penguatan karakter bangsa dan landasan peradaban
masa kini.
Dengan adanya penemuan-penemuan langka tersebut, Gua
Harimau menjadi situs yang perlu diteliti secara berkelanjutan untuk
memperoleh data baru dan melengkapi data yang ada. Sisa-sisa peninggalan
yang masih terdapat pada lapisan yang lebih dalam menjadikan Gua
Harimau sebagai situs yang menjanjikan temuan-temuan spektakuler lainnya
di masa datang.
Kandungan tinggalannya sangat penting tidak hanya
untuk pemahaman sejarah dan budaya di lingkup lokal, tetapi juga
mengisi kekosongan data kehidupan Homo sapiens awal di lingkup regional,
bahkan memberikan kontribusi tentang persebaran hunian Homo sapiens
awal kawasan Asia Tenggara.
Untuk memasyaratkan situs arkeologi gua-gua di Baturaja, Sumatra
Selatan, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan berbagai
kegiatan yang sifatnya edukatif, seperti pemaparan nilai-nilai
peradaban, pameran poster, pemutaran film, dan dilanjutkan dengan
kunjungan untuk melihat temuan-temuan di Gua Putri (atas) dan Gua
Harimau. (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional).
Sebagai “Rumah Peradaban” yang sarat dengan kandungan sejarah,
budaya, dan nilai-nilai peradaban, keberadaan Gua Harimau menjadi sangat
penting untuk sarana pembelajaran dan pencerahan tentang kehidupan masa
lampau kepada masyarakat luas.
Salah satu upaya yang dilakukan
Pusat Arkeologi Nasional (Pusarkenas) untuk memasyarakatkan situs
arkeologi Gua Harimau yaitu dengan menyelenggarakan kegiatan Rumah
Peradaban Gua Harimau. Dalam acara yang digelar pada tanggal 16 Mei 2016,
Arkenas mengundang peserta yang terdiri dari siswa-siswi SMA/SMK
sekabupaten OKU, para guru, staf pemda, wartawan, dan masyarakat sekitar
Padang Bindu.
Temuan berupa lukisan gua prasejarah di Gua Harimau mematahkan
anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa lukisan gua tidak terdapat di
Sumatra. Gambar-gambar ini diduga terkait dengan prosesi ritual dalam
konsepsi kepercayaan manusia-manusia pembuatnya. Jejak prasejarah di Gua
Harimau dalam NGI Januari 2013.. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia).
Acara tersebut diisi oleh berbagai kegiatan yang sifatnya edukatif,
seperti pemaparan nilai-nilai peradaban, pameran poster, pemutaran film,
dan dilanjutkan dengan kunjungan untuk melihat temuan-temuan di Gua
Harimau.
Temuan gambar cadas prasejarah pertama di Sumatra ini mematahkan asumsi arkeolog yang menyatakan budaya gambar cadas tak menyentuh Sumatra.
Saat ini pemerintah
daerah OKU sedang merencanakan pemanfaatan Gua Harimau dan situs-situs
lain di wilayah Padang Bindu sebagai obyek wisata. Melalui
kegiatan-kegiatan tersebut, pengelolaan warisan budaya di wilayah OKU
diharapkan semakin mengalami kemajuan dan masyarakat umum dapat memahami
pengetahuan sejarah serta nilai-nilai peradaban dari situs dan penemuan
arkeologi tersebut.
Truman pernah berkata kepada staf editor National Geographic Indonesia
bahwa pernah terjadi penjarahan temuan gelang perunggu di gua ini pada
2012. Kejadian perusakan arkeologis bukan hanya terjadi sekali. Beberapa
tahun sebelumnya, rangka-rangka manusia prasejarah di Gua Silabe hasil
kerja keras timnya juga dijarah. Tampaknya sekelompok orang tak
bertanggung jawab itu mengira adanya harta karun.
Satu hal yang
perlu diingat, selain penelitian dan pemasyarakatan yang perlu dilakukan
secara berkesinambungan, kegiatan pelestarian juga perlu berjalan
beriringan untuk menghindari kerusakan situs dan sisa-sisa peninggalan
yang terkandung di dalamnya.
Sumber: National Geographic
0 Komentar